December 5, 2023
×
×
Today's Local
December 5, 2023

Petani Bantayan, Menjaga Ketahanan Pangan di Tengah Penambangan Nikel

Menuju Kampung Holtikultura, Poktan Sumber Berkah Berjuang Olah Lahan Tercemar

Keterangan : Lahan persawahan irigasi di Desa Bantayan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, yang dikelola Ramlam Maran, dan diubah menjadi lahan pertanian holtikultura (foto: Dewi).

“Menutup Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidaklah cukup, karena gunung telah dilukai, luka karena penggerukan tambang akan terus menganga,” ucap Budiyanto Datu Adam (45) mengawali perbincangan dengan awak media ini, Selasa (21/02/2023).

Pada pertengahan tahun 2022, PT. Bumi Persada Surya Pratama mulai beroperasi di lahan seluas 8.000 hektare di kawasan pengunungan Sauwon, yang berbatasan dengan Desa Bantayan.

Kembali beroperasinya penambangan nikel di wilayah tersebut diyakini akan semakin memperparah pencemaran limbah tambang ke lahan pertanian warga.

Budi, Ketua Kelompok Tani (Poktan) Holtikultura Sumber Berkah Desa Bantayan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, mengatakan kondisi lahan persawahan yang telah tercemar limbah pertambangan nikel menuntut para petani harus berjuang keras dalam meminimalisir dampak agar pertanian bisa terus berproduksi.

“Mengelola lahan persawahan yang tercemar limbah nikel untuk terus bisa berproduksi bukanlah hal yang mudah, namun bukan pula hal yang tidak mungkin,” ucap Budi.

Poktan Sumber Berkah beranggotakan 20 orang petani, setiap anggota menggelola lahan seluas setengah hektare, memilih merotasi tanaman dari padi sawah ke holtikultura di lokasi lahan persawahan irigasi yang hanya berjarak 2 kilometer dari PT. Bumi Persada Surya Pratama beroperasi.

Lahan pertanian holtikultura di Desa Bantayan (foto : Dewi).

Bukan mengalihfungsikan lahan, rotasi tanaman dilakukan untuk meminimalisir dampak penambangan nikel melalui air sungai Timboa yang berada tepat di bawah kaki gunung Sauwon.

Sungai Timboa hanya berjarak kurang dari 300 meter dari lokasi penambangan, dan menjadi satu-satunya sumber air yang digunakan petani untuk mengairi lahan persawahan.

“Air sungai acapkali berwarna merah kala hujan turun, air itu masuk ke lahan persawahan, akibatnya tanah menjadi retak dan berubah warna dari hitam menjadi oranye. Makanya kami mengurangi penggunaan air sungai dan menggunakan air tanah (sumur) sebagai sumber air untuk tanaman,” lanjutnya.

Pada 1997, penambangan nikel dilakukan PT. Anugerah Tompira Nikel (ATN) di perbatasan Desa Bantayan. Beroperasinya pertambangan tersebut  membuat air sungai Timboa yang mengaliri persawahan menjadi tercemar.

Akibatnya hingga tahun 2019 petani Bantayan yang mayoritas petani penggarap terus mengalami kerugian karena hasil produksi padi yang dihasilkan kerdil.

Kondisi tanah persawahan irigasi pasca dialiri air merah usai hujan (foto: Dewi).

“Tahun 2018-2019, selama dua musim, petani benar-benar berhenti bersawah. Selain karena terus mengalami kerugian akibat dampak air, krisis air pun melanda, debit air sungai Timboa sangat menurun,” tuturnya.

Rotasi Tanaman Jadi Pilihan Untuk Mengolah Lahan Tercemar

Menanam tanaman holtikultura bukanlah hal baru bagi Budi. Selama tiga tahun, sejak 2016 hingga 2018, Budi telah melakukan uji coba budidaya tanaman holtikultura. Beberapa kali mengalami kegagalan, tahun 2018 budidaya tanaman holtikultura yang dilakukannya berhasil.

Panggilan jiwa untuk bertani dan membangkitkan holtikultura, membuat Budi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di salah satu instansi lingkup Pemerintah Kabupaten Toli-Toli, Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2019.  Agustus 2021 Budi memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Desa Bantayan.

Budiyanto Datu Adam, Ketua Poktan Holtikultura Sumber Berkah Desa Bantayan (foto dokumen mediabanggai.com).

Bermodalkan  nekat dan tekad, sebidang tanah warisan orang tua disulap Budi menjadi lahan pertanian holtikultura. Budi pun mulai memperkenalkan budidaya holtikultura dan mengajak petani didesanya untuk ikut menanam tanaman holtikultura.

“Saya belajar sistem rotasi tanaman dan budidaya tanaman holtikultura secara otodidak melalui YouTube dan bimbingan dari para mentor (petani holtikultura) yang ada di pulau Jawa serta para dosen dari UGM dan ITB yang berada dalam WhatsApp grup yang saya ikuti,” kisahnya.

Melihat upaya yang dilakukan Budi menunjukkan hasil produksi yang menjanjikan, pada Desember 2021, 20 petani sawah meminta Budi untuk membentuk kelompok tani dan mengajarkan mereka sistem rotasi tanaman.

Salah satu lahan persawahan irigasi di Desa Bantayan yang ditanami Terong (foto: Dewi).

“Dibentuknya Poktan Holtikultura Sumber Berkah tujuan utamanya melakukan rotasi tanaman dari padi sawah ke tanaman holtikultura diatas lahan persawahan yang telah terbengkalai. Pilihan itu diambil daripada harus menjadi pekerja tambang seperti yang diiming-imingi perusahaan,” ujarnya.

Dengan metode sederhana, lanjutnya, lahan yang tercemar diupayakan untuk bisa gembur kembali dengan menggunakan pupuk organik yang harganya berkisar antara Rp200 ribu hingga Rp500 ribu per kilogram, agar unsur hara tanah bisa maksimal.

“Sudah lebih dari setahun kami fokus untuk menanam tanaman holtikultura,” ucapnya.

Budi menuturkan sebelum memutuskan untuk bertani holtikultura, petani bekerja serabutan guna menutupi segala kebutuhan rumah tangga. Petani berhenti menanam padi karena khawatir akan mengalami kerugian lagi dan menimbulkan hutang.

Tomat juga merupakan salah satu komoditi yang ditanam oleh Poktan Sumber Berkah (foto : Dewi)

“Sudah bisa makan mereka sudah sangat bersyukur.  Setelah memutuskan merotasi tanaman, Alhamdulillah perekonomian perlahan-lahan mulai membaik. Hasil produksi bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, ada juga yang sudah bisa menyisihkan hasil penjualan untuk modal bertanam selanjutnya, meskipun hanya sedikit,” ujarnya.

Meski menunjukkan hasil yang positif, Poktan Sumber Berkah tak lepas dari berbagai kendala, diantaranya terkait saprodi (sarana produksi) dan Alsintan (alat dan mesin pertanian).

“Saprodi yang digunakan cukup mahal karena bukan subsidi. Alsintan, khususnya alat pembuat bedengan atau traktor tangan, tak kami miliki. Sekali menanam modal hingga Rp10 juta dikeluarkan dengan merongoh kocek pribadi,” ucap Budi.

September 2022 Poktan Desa Bantayan melakukan panen raya dengan komoditi Cabai sebagai varietas unggulan (foto dokumen mediabanggai.com).

Meski tak mendapat bantuan, Poktan Sumber Berkah terus termotivasi untuk mengelola lahan yang tercemar seluas-luasnya. Pada September 2022, Poktan Sumber Berkah melakukan panen raya dengan cabai sebagai varietas unggulan.

Hasil produksi dari lahan setengah hektare yang dikelola Budi dengan ditanami ketimun, terong, pare, buncis dan cabai mencapai satu ton. Belum lagi dari 4,5 hektare lainnya yang ditanami para anggota Poktan.

Panen raya ini turut dihadiri Staf Khusus (Stafsus) Menteri Pertanian (Mentan) Bidang Komunikasi Pembangunan Pertanian, Yesiah Ery Tamalagi datang untuk meninjau langsung upaya rotasi tanaman yang dilakukan Poktan Sumber Berkah.

Stafsus Mentan Bidang Komunikasi Pembangunan Pertanian, Yesiah Ery Tamalagi, meninjau lokasi lahan pertanian yang disiapkan poktan Desa Bantayan menjadi kampung holtikultura (foto dokumen mediabanggai.com).

“Dukungan penuh diberikan Kepala Desa Bantayan, Zulkarnain Tangahu, atas upaya yang kami lakukan. Bahkan utusan Mentan datang meninjau langsung upaya kami. Ini semakin memotivasi kami,” ujarnya.

Budi pun mengajak para petani untuk berpikir positif dan mencoba untuk merotasi tanaman dilahan pertanian mereka. Alasannya sederhana saja, IUP tak mudah untuk dicabut dan perusahaan juga banyak yang tak mau mengganti rugi.

Budi berharap pemerintah bisa memberikan perhatian kepada pihaknya dengan memberikan bantuan Alsintan untuk mempermudah dalam mengolah lahan yang selama ini diolah secara manual.

“Bila tak bisa memberikan bantuan, setidaknya pemerintah bisa mencarikan solusi yang lain agar lahan pertanian, khususnya lahan persawahan, tak lagi tercemar limbah nikel yang dibawa oleh air,” tandasnya.

Senada dengan Budi, Rosliana Mokoagow dan Lusiana, yang turut hadir dalam konsolidasi yang dilakukan tim mediabanggai.com pada Selasa, 21 Februari 2023, di rumah Kepala Desa Bantayan menambahkan dengan merotasi tanaman kekhawatiran mereka akan pemenuhan kebutuhan sehari-hari mulai mereda.

Jagung menjadi salah satu komoditi yang ditanam petani untuk menunjang pemenuhan kebutuhan hidup (foto : Dewi).

Rosliana mengatakan meski hasil penjualan produksi bergantung pada harga pasar, namun bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan keperluan anak-anak sekolah,

“Sekali panen bisa mencapai Rp13-14 juta, dipotong modal sekitar Rp10 juta. Harga naik keuntungan meningkat, harga turun pendapatan pun menurun, masih mencukupi modal bertanam dan kebutuhan rumah tangga,” ucap Rosliana.

Selain harga pasar, tambah Lusiana, pemasaran juga menjadi salah satu tantangan bagi mereka. Menurutnya, peran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banggai melalui Dinas Ketahanan Pangan belum  bisa maksimal.

Lusi menguraikan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Banggai bersedia untuk membeli hasil panen mereka, tetapi dengan harga yang lebih murah dari harga pasar. Biasanya harga cabai rawit dipasaran Rp50 ribu per kilogram, oleh Dinas Ketahanan Pangan dibandrol dengan harga Rp45 ribu per kilogram.

“Tapi kalau kami menjualnya sendiri ke pasar kami tekor di ongkos kendaraan, jadi bila harga cabai turun saya dan anggota keluarga lainnya turun langsung untuk memetik hasil tanaman, jadi bisa irit, tidak membayar buruh tani lagi,” tutupnya.

Komitmen Poktan Sumber Berkah Jadikan Desa Bantayan Kampung Holtikultura

Terik matahari yang menyengat tak mematahkan semangat Ramlan Maram, petani penggarap sawah di Desa Bantayan, untuk mengerjakan pembuatan bedengan di atas lahan seluas 15 are yang disewanya untuk bertanam holtikultura.

Keyakinan Ramlan bahwa lahan tercemar bisa diolah menjadi lahan produktif, membuatnya bergabung dalam Poktan Sumber Berkah.

Selama menjadi petani penggarap sawah, selain masalah pupuk, hama dan tikus yang menyerang tanaman, hasil produksi yang kerdil serta ancaman gagal panen membuatnya berhenti menanam padi sawah.

4.000 pohon Cabai rawit yang ditanam Ramlan di lahan seluas 15 are (foto; Dewi).

“Dengan menanam holtikultura saya bisa sedikit lega, hasil produksi cukup menjanjikan, setidaknya saya tidak lagi berutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ucapnya sambil tersenyum.

Sama seperti yang lainnya, dengan menjadi petani holtikultura Ramlan harus dihadapkan dengan berbagai kendala yang harus ditangani secara mandiri, diantaranya tentang pupuk dan Alsintan.

“Pupuk yang digunakan non subsidi dan saya harus menyewa Alsintan dari desa sebelah dengan tarif Rp500 ribu per harinya. Mahal memang, tetapi saya tetap harus menyewa, kalau dikerjakan manual akan memakan waktu dan tenaga,” tuturnya.

Selain menyewa Alsintan, Ramlan juga menyewa lahan seluas 30 are yang digunakannya untuk bertani dengan tarif seharga 200 kilogram beras yang dibayarkan setiap panen.

“15 are sudah ditanami 4.000 pohon cabai, 15 are lagi sedang saya garap dengan membuat bedengan. Semuanya serba mandiri, tapi saya optimis hasil produksi mampu menutupi biaya produksi yang telah dikeluarkan dan mencukupi kebutuhan sehari-hari,” pungkas Ramlan.

Meski dalam bertani secara manual dan tak memiliki Alsintan, dengan keterbatasan tenaga dan modal, Poktan Desa Bantayan berkomitmen menjadikan Desa Bantayan sebagai kampung holtikultura.

Komitmen itu pun mendapat dukungan penuh dari Kades Bantayan Zulkarnain Tangahu. Meski petani holtikultura di wilayahnya tak mendapat perhatian, tapi ia optimis upaya yang telah dilakukan tidak akan sia-sia.

Zulkarnain menuturkan pada bulan Juni hingga Desember 2022, rata-rata anggota Poktan Sumber Berkah melakukan panen sebanyak 500 kilogram diatas lahan setengah hektare. Panen dilakukan secara bertahap sesuai dengan waktu penanaman.

“Bulan Juni hingga Desember 2022 petani mulai panen, sekali panen di satu bidang lahan membutuhkan waktu tiga hingga empat hari dengan hasil rata-rata 500 kilogram. Hingga akhir Desember 2022 rata-rata dari setengah hektare lahan yang dikelola anggota poktan menghasilkan produksi dengan total 12 ton,” urainya.

Untuk pemasaran, Zulkarnain mengatakan Poktan Sumber Berkah telah menerima permintaan penyuplaian hasil produksi holtikultura dari tiga pedagang besar di Kabupaten Tojo Una-Una, dengan masing-masing jenis komoditi sebanyak 200 kilogram per minggunya.

Permintaan itu tak sepenuhnya terpenuhi karena masih banyak lahan persawahan yang tak dikelola disebabkan masalah permodalan, Alsintan dan belum semua petani mau berpartisipasi. Bahkan dari 10 hektare lahan yang Poktan sumber Berkah baru 5 hektare yang ditanami.

“Holtikultura masih merupakan hal baru bagi petani disini. Kalau bersawah, kalau tidak punya modal tengkulak akan meminjamkan dengan sistem pembayaran setiap panen, di holtikultura belum ada tengkulak yang mau meminjamkan modal,” tandasnya.

Secercah harapan atas rotasi tanaman yang dilakukan Poktan Sumber Berkah juga turut dirasakan Tati, Minangsari dan Indra, tiga wanita Desa Bantayan yang dalam kesehariannya berprofesi sebagai buruh tani.

Sembari menunggu musim tanam dimulai, ketiganya menumpang menanam berbagai jenis tanaman jangka pendek di lahan yang dikelola para petani, diantaranya kacang, pare dan jagung. Hasil panen selain untuk dimakan sendiri juga untuk dijual untuk menopang perekonomian keluarga.

Ketiganya mengaku tak pernah menghitung berapa jumlah hasil produksi setiap kali panen, namun mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

“Alhamdulillah masih bisa makan, kami tak berharap lebih. Kalau dibilang cukup, ya pastinya tidak cukup, tapi dicukup-cukupkan saja untuk membiayai sekolah anak dan cucu serta makan sekeluarga. Mau jadi petani holtikultura kami tak punya modal, modalnya cukup besar,” tandas Minangsari.

Tulisan ini diperuntukkan untuk Akademi Jurnalis Ekonomi Lingkungan (AJEL) II kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan Traction Energy Asia.